PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN PADA ORANG DEWASA DAN LANJUT USIA

Judul Buku    : Buku Ajar Psikologi Agama
Pengarang      : Dr. I Made Titib dan Drs. I Ketut Mardika
Tahun terbit  : 2004
Halaman         : 48 - 64



A.      MACAM-MACAM KEBUTUHAN
Manusia adalah makhluk yang eksploratif dan potensial, dikatakan makhluk eksploratif, karena manusia mampu untuk mengembangkan diri baik secara fisik maupun psikis. Manusia disebut sebagai makhluk potensial karena pada diri manusia tersimpan sejumlah kemampuan bawaan yang dapat dikembangkan. Selanjutnya manusia disebut juga sebagai makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya, karena untuk tumbuh dan berkembang secara normal manusia memerlukan bantuan dari luar dirinya. Bantuan yang dimaksud antara lain dalam bentuk bimbingan dan pengarahan dari lingkungannya.
Para ahli psikologi perkembangan membagi perkembangan manusia menjadi: 1) masa pre-natal; 2) masa bayi; 3) masa kanak-kanak; 4) masa pre-pubertas; 5) masa dewasa; 6) masa usia lanjut. Setiap masa perkembangan memiliki ciri-ciri tersendiri, termasuk perkembangan jiwa keagamaan. Sehubungan dengan kebutuhan manusia dan periode perkembangan tersebut, maka dalam kaitannya dalam perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat bagaimana pengaruh timbal balik antara keduanya. Dengan demikian perkembangan jiwa keagamaan juga akan terlihat dari tingkat usia dewasa dan usia lanjut.
Dalam bukunya pengantar Psikologi kriminal Drs. Gerson W. Bawengan,SH. Mengemukakan pembagian kebutuhan manusia berdasarkan pembagian yang dikemukakan oleh J.P Gulford, sebagai berikut:
1.      Kebutuhan Individual terdiri dari:
a.       Homeostatis, yaitu kebutuhan yang dituntut tubuh dalam proses penyelesaian diri dengan lingkungan.
b.      Regulasi temperatur, penyesuaian tubuh dengan dalam usaha mengatasi kebutuhan akan perubahan temperatur badan.
c.       Tidur, kebutuhan manusia perlu dipenuhi agar terhindar dari gejala halusinasi.
d.      Lapar, kebutuhan biologis yang harus dipenuhi untuk membangkitkan energi tubuh.
e.       Seks; kebutuhan seks sebagai salah satu kebutuhan yang timbul dari dorongan mempertahankan jenis. Tidak terpenuhinya kebutuhan seks akan mendatangkan gangguan-gangguan kejiwaan dalam bentuk prilaku seksual yang menyimpang (abnormal) seperti:
1)      Sadisme, kepuasan nafsu seks dengan jalan menyakiti lawan jenisnya.
2)      Mosochisme, pemuasan nafsu seksual dengan cara menyakiti diri sendiri.
3)      Exhibitionisme, pemuasan nafsu seksual dengan cara menunjukkan daerah orogeen seksual pada orang lain.
4)      Scoptophilia, pemuasan nafsu seksual dengan mengintip lakon seks.
5)      Voyeurisme, pemuasan nafsu seksual dengan cara mengintip atau melihat bentuk tubuh tanpa busana.
6)      Troilisme atau trolisme, pemuasan nafsu seksual denagn cara saling mempertontonkan lakon seks.
7)      Transvestisme, pemuasan nafsu seksual dengan memakai baju lawan jenisnya.
8)      Transsevualisme, kecenderungan pemuasan nafsu seksual dengan cara ganti kelamin.
9)      Sexualorisme, pemuasan nafsu seksual dengan memadukan mulut (oral) dengan alat kelamin. Pada laki-laki disebut fellatio dan pada wanita disebut cunnilingus.
10)  Sodomy (Non vaginalcoitus)
Selanjutnya kelainan seksual inipun dapat menyebabkan orang memuaskan nafsu seksualnya dengan menggunakan obyek lain. Diantara jenis kelamin itu meliputi:
1)      Homosesksualitas, pemuasan nafsu seksual antara sesama laki-laki. Sesama perempuan disebut lesbian.
2)      Pedophilia, pemuasan nafsu seksual dengan anak-anak sebagai obyeknya.
3)      Bestiality, persetubuhan dengan binatang.
4)      Zoophilia, pemuasan nafsu seksual dengan cara mengelus-elus binatang.
5)      Neeroplolia, pemuasan nafsu seksual dengan cara mengadakan hubungan kelamin dengan mayat.
6)      Pornography, pemuasan nafsu seksual dengan melihat gambar atau membaca buku cabul.
7)      Obscenety, pemuasan nafsu seksual dengan cara mengeluarkan kata-kat kotor.
8)      Fetishisme, pemuasan nafsu seksual dengan cara menggunakan simbol seks dari lawan jenisnya terutama pakaian.
9)      Frottage, memuaskan nafsu seksual dengan cara meraba orang yang disenangi.
10)  Soliromanis, pemuasan nafsu seksual dengan cara mengotoro lambang seksual orang yang disenangi.
11)  Goronto seksuality, pemuasan nafsu seksual dengan wanita berusia lanjut atau sebaliknya.
12)  Ineest, pemuasan nafsu seksual dengan mengadakan hubungan kelamin dengan kerabat.
13)  Wife-wapping, pemuasan nafsu seksual dengan cara menukar pasangan.
14)  Mysophilia, pemuasan nafsu seksual dengan cara menggunakan benda kotor.
15)  Masturbasi, pemuasan nafsu seksual dengan zinah tangan.  
f.       Melarikan diri yaitu: kebutuhan manusia akan perlindungan dan keselamatan jasmani dan rohani. Usaha menghindarkan diri dari bahaya atau sesuatu yang dianggap berbahaya merupakan reaksi yang wajar sebagai usaha proteksi.
g.      Pencegahan yaitu: kebutuhan manusia untuk mencegah terjadinya reaksi melarikan diri.
h.      Ingin tahu (curitoxity) yaitu: kebutuhan manusia untuk ingin selalu mengetahui latar belakang kehidupannya. Kebutuhan ini mendorong manusia untuk mengembangkan dirinya.
i.        Humor yaitu: kebutuhan manusia untuk mengedorkan beban kejiwaan yang dialaminya dalam bentuk verbal dan perbuatan. Sigmund Freud membagi humor atas:
1)      Aggresive Wit, yaitu humor yang menyinggung orang lain.
2)      Harmsless Wit, yaitu humor yang tidak menyinggung orang lain.

2.      Kebutuhan Sosial
Kebutuhan sosial manusia tidak disebabkan pengaruh yang datang dari luar (stimulus) seperti layaknya binatang. Kebutuhan sosial kepada manusia berbentuk nilai. Jadi kebutuhan itu bukan semata-mata kebutuhan biologis melainkan kebutuhan rohaniah. Bentuk kebutuhan ini terdiri dari:
a.       Pujian dan hinaan
Setiap manusia normal membutuhkan pujian dan hinaan. Kedua unsur ini merupakan faktor yang menentukan dalam pembentukan sistem moral manusia. Pujian merangsang manusia untuk mengejar prestasi dan kedudukan yang terpuji sedangkan hinaan menyadarkan manusia dari kekeliruan dan pelanggaran etika sosial.
b.      Kekuasaan dan mengalah
Kebutuhan kekuasaan dan mengalah tercermin dari adanya perjuangan manusia yang tak henti-hentinya dalam kehidupan.
c.       Pergaulan
Kebutuhan mendorong manusia untuk hidup dan bergaul sebagai Homosocius (makhluk bermasyarakat) dan Zoon-politicon (makhluk yang berorganisasi).
d.      Imitasi dan meniru
Kebutuhan manusia dalam pergaulan yang tercermin dalam bentuk meniru dan mengadakan respon-emosional. Tindakan tersebut menurutnya adalah sebagai akibat adanya kebutuhan akan imitasi dan simpati.
e.       Perhatian
Kebutuhan akan perhatian merupakan salah satu kebutuhan sosial yang terdapat pada setiap individu. Besar kecilnya perhatian masyarakat terhadap seseorang akan mempengaruhi sikapnya. Selanjutnya Dr. Zakiah Darajat (1970) dalam bukunya Peranan Agama dalam Kesehatan Mental membagi kebutuhan manusia atas 2 kebutuhan pokok:
1)      Kebutuhan primer, yaitu kebutuhan jasmaniah, seperti makan, minum, seks, dan lainnya yang secara fitrah tanpa dipelajarai.
2)      Kebutuhan sekunder atau kebutuhan rohaniah. Jiwa dan sosial kebutuhan ini hanya di dapat pada manusia dan sudah dirasakan sejak manusia masih kecil. Yang mana dibagi menjadi 6, yaitu:
·      Kebutuhan akan rasa kasih sayang
·      Kebutuhan akan rasa aman
·      Kebutuhan akan rasa harga dir
·      Kebutuhan akan rasa bebas
·      Kebutuhan akan rasa sukses
·      Kebutuhan akan rasa ingin tahu.
3.      Kebutuhan Manusia akan Agama
Selain berbagai macam kebutuhan yang disebutkan di atas, masih ada lagi kebutuhan manusia yang sangat perlu diperhatikan, yaitu kebutuhan terhadap agama. Manusia disebut sebagai makhluk yang beragama (homo religious). Walaupun para ahli belum sependapat tentang kemutlakan naluri beragama atau naluri keagamaan pada diri manusia, namun hasil penelitian mereka sebagian besar membenarkan eksistensi naluri itu. Bermacam istilah mereka pergunakan namun pada dasarnya istilah dimaksud adalah berupa dorongan yang menyebabkan manusia cenderung untuk mengakui adanya suatu zat yang adikodrati (supernatural).

B.       SIKAP KEBERAGAMAAN PADA ORANG DEWASA
Charlotte Buchler melukiskan tiga masa perkembangan pada periode prapubertas, periode pubertas dan periode adolesen dengan semboyan yang merupakan ungkapan bathin mereka. Di periode prapubertas oleh Chalotte Buchler diungkapkan dengan kata-kata “perasaan saya tidak enak tetapi tidak tahu apa sebabnya”. Untuk periode pubertas dilukiskan dengan “saya ingin sesuatu, tetapi tidak tahu ingin akan apa”. Adapun dalam periode adolesen ia mengemukakan dengan kata-kata “saya hidup dan saya tahu untuk apa”. (Crijns dan Resosiswojo; 2000: 11)
Kemantapan jiwa orang dewasa setidaknya memeberikan gambaran tentang bagaimana sikap keberagamaan pada orang dewasa. Mereka sudah memiliki tanggung jawab terhadap sistem nilai yang dipilihnya, baik sistem nilai yang bersumber dari ajaran agama maupun yang bersumber dari norma-norma lain dalam kehidupan. Pokoknya, pemilihan nilai-nilai tersebut telah didasarkan atas pertimbangan pemikiran yang matang. Berdasarkan hal ini maka sikap keberagamaan seorang di usia dewasa sulit untuk diubah. Jika perlu terjadi  perubahan mungkin proses itu terjadi setelah didasarkan atas pertimbangan yang matang.
Sebaliknya, jka seorang dewasa memilih nilai yang bersumber dari norma-norma non agama, itupun akan dipertahankan sebagai pandangan hidupnya. Kemungkinan ini memberi peluang bagi munculnya kecenderungan sikap yang anti agama, bila menurut pertimbangan akal sehat (common sense)-nya terdapat kelemahan-kelemahan tertentu dalam ajaran agama yang dipahaminya. Bahkan tak jarang sikap anti agama seperti itu diperlihatkan dalam bentuk sikap menolak hingga ke tindakan memusuhi agama yang dinilainya mengikat dan bersifat dogmatis.
Kenyataan seperti itu terlihat dari peristiwa sejarah gerakan yang dilancarkan Parta Komunis Indonesia (PKI) dimasa jayanya. Melalui indroktrinnya partai ini telah mampu menanamkan sikap anti agama di kalangan Pemuda Rakyat dan Gerwani. Dan ketika peristiwa berdarah G30 S/PKI para Pemuda Rakyat dan Gerwani ini sanggup mempertahankan idiologi komunis yang mereka jadikan pandangan hidup itu dengan menukar nyawa mereka.
Sebaliknya jika nilai-nilai agama yang mereka pilih untuk dijadikan pandangan hidup, maka sikap keberagamaan itu akan dipertahankan sebagai identitas dan kepribadian mereka. Sikap keberagamaan ini membawa mereka untuk secara mantap menjalankan ajaran agama yang mereka anut. Sehingga tak jarang sikap keberagamaan ini dapat menimbulkan ketaatan yang berlebihan dan menjurus ke sikap fanatisme. Karena itu, sikap keberagamaan seseorang dewasa  cenderung didasarkan atas pemilihan terhadapa ajaran agama yang dapat memberikan kepuasan bathin atas dasar pertimbangan akal sehat.
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap keragamaan pada orang dewasa antara lain memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2.      Cenderungya bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3.      Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman agama.
4.      Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
5.      Bersifat lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6.      Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7.      Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing sehngga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami, serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
8.      Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan berorganisasi sosial agama sudah berkembang.

C.       MANUSIA USIA LANJUT
Perkembangan manusia dapat digambarkan dalam bentuk garis sisi sebuah trapesium. Sejak usia-usia bayi hingga mencapai kedewasaan jasmani digambarkan dengan garis-garis miring menanjak. Garis itu menggambarkan bahwa selama periode tersebut terjadi perkembangan yang progresif. Pertumbuhan fisik berjalan secara cepat hingga mencapai titik puncak perkembangannya, yaitu usia dewasa (22-24 tahun).
Perkembangan selanjutnya digambarkan oleh garis lurus sebagai gambaran kemantapan fisik yang sudah dicapai. Sejak mencapai usia kedewasaan hngga usia 50 tahun perkembangan fisik manusia boleh dikatakan tidak mengalami perubahan yang banyak. Barulah di atas usia 50 tahun terjadi penurunan perkembangan yang drastis hingga mencapai usia lanjut. Oleh karena itu umumnya garis perkembangan pada periode ini digambarkan menurun. Periode ini disebut sebagai periode regresi (penurunan).
Sejalan dengan penurunan tersebut, maka secara psikis terjadi berbagai perubahan pula. Perubahan-perubahan gejala psikis ini ikut mempengaruhi berbagai aspek kejiwaan yang terlihat dan pola tingkah laku yang diperlihatkan. Tingkat perkembangan dibagi menjadi delapan tahap, yaitu: 1) tahun-tahun pertama; 2) tahun kedua; 3) tahun ketiga; 4) tahun keenam hingga pubertas; 5) adolesen; 6) kedewasaan awal; 7) kedewasaan menengah; dan 8) tahun-tahun terakhir (usia lanjut). Pembagian ini didasari atas adanya berbaga perubahan perkembangan fisik maupun psikis yang berbeda untuk setiap tahap perkembangan pada sekitar usia-usia tersebut.
Kehidupan keagamaan pada usia lanjut menurut hasil penelitian psikologi agama ternyata meningkat. Temuan menunjukkan secara jelas kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat pada umur-umur ini, sedangkan pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul sampai 100% setelah usia 90 tahun (Robert H Thouless; 108).
Berbagai latar belakang yang menjadi peneyebab kecenderungan sikap keagamaan pada manusia usia lanjut, memberi gambaran tentang ciri-ciri keberagamaan di usia lanjut, yaitu:
1.      Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2.      Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3.      Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang  kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh.
4.      Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia serta sifat-sifat luhur.
5.      Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia.

6.      Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar