PANCARAN KEBERAGAMAAN TERHADAP PERILAKU MANUSIA

Judul Buku    : Psikologi Agama Seimbangkan Pikiran, Jiwa, dan Raga
Pengarang      : Suasthi dan Suastawa
Tahun terbit  : 2008
Halaman         : 10 - 20
Diresume oleh: I Wayan Rudiarta

Related Post:


BAB V
PANCARAN KEBERAGAMAAN TERHADAP PERILAKU MANUSIA

1.        Kondisi Psikologis dan Sikap Keagamaan
Agama adalah kebenaran dan kebaikan. Orang-orang yang berpegang teguh padanya akan terimbas oleh kebenaran dan kebaikan agama. Imbas itu dapat diketahui dari pengetahuan keagamaan yang semakin meningkat, keyakinan agama semakin menguat, perilaku agama semakin konsisten, serta pengamalan keagamaan yang semakin intensif. Sehngga kekuatan pengaruh agama terhadap diri manusia terlihat dalam berbagai dimensi kehidupan manusia.
Ada beberapa faktor yang dapat membentuk sikap keagamaan, yaitu sebagai berikut:
a.       Faktor Sosial (pola asuh), yang mencakup semua pengaruh sosial dalam mengembangkan sikap keagamaan baik itu pendidikan dari orang tua, tradisi-tradisi sosial yang dapat membentuk etika dalam lingkungan sosial yang disepakati bersama.
b.      Faktor alami. Berbagai pengalaman yang membantu sikap keagamaan terutama pengalaman mengenai keindahan, keselarasan dan kebaikan dari dunia lain, hal ini terbebas dari penilaian yang merupakan landasan rasional untuk membela seseorang menumbuhkan keyakinannya.
c.       Faktor Moral, yaitu pengalaman konflik antara rangsangan-rangsangan perilaku yang oleh seseorang dianggapnya akan membimbing ke arah yang baik dengan rangsangan di matanya yang tampak tidak benar. Konsep dualime (Rwa Bineda) ini ada dalam kenyataan, namun sejumlah orang ada yang dapat mengatasi dengan menumbuhkan keyakinan terhadap adanya Tuhan.
d.      Faktor Afektif, yaitu pengalaman bathin seseorang yang merupakan salah satu faktor yang ada dalam pengalaman setiap orang beragama. Sebagian orang mungkin menganggap bahwa upacara-upacara agama hanya sekedar seremonial saja, namun ada juga sebagian yang dengan khusuk mencurahkan emosnya dan merasakan ketenangan dan kedamaian.
e.       Faktor Kebutuhan; sikap keagamaan itu muncul akibat adanya beberapa kebutuhan manusia yang tidak terpenuhi di dunia ini. Kebutuhan dasar manusia primitif adalah keagamaan terhadap berbagai ancaman sepert: kelaparan, penyakit, kehancuran, dan musuh-musuh. Hal itu mendorong manusia untuk melakukan berbagai ritual yang diyakini dapat melindunginya.
f.       Faktor Intelektual: sebagai bagian dari landasan sikap keagamaan yaitu: pemikiran rasional, kemampuan berpikir seseorang untuk menggunakan kata-kata sebagai alat untuk membedakan yang benar dan yang salah. Agama yang semata-mata didasarkan atas emosi dan penerimaan sistem motivasional dengan mudah dapat menjurus pada fanatisme. Sehingga seseorang saat menanyakan tentang keyakinan-keyakinan keagamaannya perlu dibantu oleh faktor intelektual yang merupakan koreksi yang berguna mengantisipasi bahaya fanatisme.

2.        Hakekat Manusia (Manusia – Anu – Atma)
Manusia adalah makhluk yang berakal budi. Dalam konsep agama Hindu, manusia sering disebut Atmaja, Anuja, atau Janma dan juga Purusa. Manusia sering disebut manusia oleh karena ia pada hakekatnya adalah penjelmaan Anu. Anu dalam bahasa Sansekerta berarti atom. Maksudnya adalah percikan kecil dari Tuhan. Manusia disebut Atmaja, Anuja, atau Janma karena pada hakekatnya ia adalah Atma atau Anu yang lahir atau menjelma dari Atma/Anu yang membadan. Disebut Purusa, oleh karena memang manusia berasal dari Purusa atau juga Visesa, semua itu adalah sama yaitu tetesan/percikan yang mengalir dari Tuhan.
Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik yang secara prinsipil memiliki kemampuan untuk siap berubah secara konstruktif. Wujud sifat hakikat manusia ini meliputi:
1.      Kemampuan Menyadari Diri
Berkat kemampuan menyadari diri, manusia dapa memahami ciri khas atau karakteristik dirinya, dia dapat membedakan dirinya dengan orang lain dan dia tidak sama dengan benda atau hewan.
2.      Kemampuan Bereksistensi
Dengan mengoptimalkan potensi yang dimiliki manusia dapat belajar untuk memetik hikmah dan belajar dari pengalaman, belajar mengantisipasi suatu keadaan dan peristiwa, belajar melihat prospek masa depan dari sesuatu, serta mengembangkan dirinya.
3.      Kata Hati atau hati nurani
Manusia memiliki kemampuan untuk memahami tentang apa yang akan, sedang, dan yang telah diperbuat bahkan mengerti juga akibat dari perbuatannya (baik atau buruk) bagi dirnya sendiri maupun orang lain. Untuk mampu menganalisis dan mampu membedakan yang baik dan benar dengan yang buruk atau salah manusia perlu memiliki kecerdasan intelegensi (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ), tujuannya agar manusia mempunyai keberanian moral yang didasari kata hati yang tajam.
4.      Moral
Seseorang dikatakan bermoral tinggi karena ia menyatukan diri dengan nilai-nilai yang tinggi yang ditanam dalam kata hatinya dan segala perbuatannya merupakan peragaan dari nilai-nilai tinggi tersebut (nilai-nilai kemanusiaan).
5.      Tanggung Jawab
Pada hakikatnya manusia tidak lepas atau lari dari tanggung jawabnya, karena manusia akan selalu menanggung segala akibat dari perbuatannya (dalam ajaran Hindu disebut hukum Karmapala). Wujud bertanggung jawab bermacam-macam seperti  bertanggung jawab pada diri sendiri dalam bentuk penyesalan yang mendalam, tanggung jawab terhadap masyarakat yang berbentuk norma-norma sosial, dan lainnya.


6.      Rasa kebebasan
Rasa bebas disini artinya tidak terikat oleh sesuatu tetapi tetap sesuatu dengan tuntutan kodrat manusia. Seseorang mengalami rasa merdeka apabila segenap perbuatannya sesuai dengan kata hati yang sesuai dengan kodrat manusia dan siap sedia untuk dipertanggungjawabkan dan tidak akan menimbulkan kekhawatiran.
7.      Kewajiban dan Hak
Salah satu kodrat manusia adalah makhluk sosial yang tercermin dalam bentuk melaksanakan kewajiban itu adalah suatu keharusan. Oleh karena itu seseorang yang semakin menyatu dengan kewajibannya, nilai, maka martabat kemanusiaannya semakin tinggi di mata masyarakat (hak).  Menurut Tirtarahardja dan S.L. La sulo (2005: 11) kemampuan menghayati kewajiban dapat ditempuh melalui pendidikan disiplin yang meliputi empat aspek, yaitu:
a.       Disiplin rasional, bila dilanggar menimbulkan rasa bersalah
b.      Disipilin sosial, bila dilanggar menimbulkan rasa malu
c.       Disiplin afeksi, bila dilanggar menimbulkan rasa gelisah
d.      Disiplin agama, bila dilanggar menimbulkan rasa berdosa.

3.        Manusia dan Kodratnya
Manusia dalam kehidupannya tidak lepas dari empat unsur yang selalu menyertainya, yaitu:
a.       Makhluk Tuhan, Tuhan sesuai dengan keyakinan Hindu menyebut dengan nama Hyang Widhi Wasa yang dipandang sebagai Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemurah, Maha Tahu, dan sebagainya.
b.      Makhluk Alam, manusia sepanjang hidupnya akan terus bergantung dengan kekuatan alam yang berupa udara, angin, air, matahari, tumbuhan dan binatang serta isi alam yang tidak tampak namun dapat dirasakan keberadaannya.
c.       Mahkluk Individu, manusia dikatakan makhluk unik, tidak ada manusia yang sama di muka bumi ini baik secara fisik dan psikologis. Masing-masing memiliki ciri-ciri fisik dan kepribadiannya. Perbedaan ini diterima sebagai warna kehidupan, karena manusia tidak bisa mengingkarinya. Dalam Hindu dikenal dengan konsep “Rwa Bhineda” yang artinya berbeda itu satu. Erikson (Hall & Lindzey, 1993) mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki identitas diri mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya sendiri, seperti aneka kesukaan dan ketidak sukaan, tujuan-tujuan yang dikejarnya di masa depan, kekuatan dan hasrat untuk mengontrol nasibnya sendiri.

d.      Makhluk Sosial, manusia tidak akan bertahan kalau tidak berinteraksi dengan individu dan ciptaan Tuhan yang lain. Manusia baru akan tampak ia adalah manusia baik atau buruk apabila berada dalam lingkungan sosial, ia akan menunjukkan eksistensinya, jati dirinya, kemampuannya, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar